Seperti janji saya dalam tulisan
terdahulu, kali ini saya mencoba menulis beberapa kegiatan penelitian di Algae
Biomass and Energy System (ABES), University of Tsukuba, Jepang.
Bila anda memiliki kesempatan
mengunjungi kota Tsukuba, anda akan mudah menemukan pemandangan pesawahan yang
membentang diantara rumah-rumah penduduk. Tak heran bila sebagian menamai
Tsukuba sebagai kampung. Suasana nya hampir serupa dengan suasana pedesaan nan
asri di Indonesia namun dibalut dengan keadaan super bersih, teratur dan minim
polusi. Membentangnya sawah di Tsukuba ternyata menginspirasi para peneliti
untuk memanfaatkannya sebagai large-scale
outdoor system untuk budidaya alga yang akan memproduksi hidrokarbon.
Strain alga yang dikembangkan mampu menghasilkan bio-oil yang berpotensi luas digunakan sebagai biofuel dan berbagai
bioproduk lainnya. Mereka mengklaim
terpilihnya alga sebagai organisme yang baik untuk dikembangkan dan
dibudidayakan dilandasi beberapa alasan berikut ini: alga memiliki
produktivitas tinggi per satuan waktu dan per satuan area, berbagai jenis lahan
dapat digunakan untuk budidaya alga, dan tidak terjadi kompetisi dengan
produksi makanan. Riset alga di Tsukuba ini dinaungi dalam satu proyek yang
bernama “Tsukuba International Strategic Zone” bersama 3 topik lainnya dibidang
kesehatan untuk pengobatan kanker, penggunaan robot yang membantu keperluan
hidup sehari-hari, dan satu topik lainnya di bidang nanoteknologi. Ada 3 jenis
alga yang digunakan dalam proyek biomassa alga di ABES yaitu:
1. Botryococcus braunii yang merupakan alga
hijau dari air tawar, mampu manghasilkan hidrokarbon yang setara dengan minyak
disebut juga botriokosen yang diproduksi, disekresi dan diakumulasi di luar
sel. Produktivitas minyak sangat tergantung oleh kondisi pada saat budidaya,
terkadang mampu menghasilkan minyak hingga lebih dari 70% berat kering. Alga
ini juga memiliki kemampuan beradaptasi yang cukup baik terhadap berbagai
kondisi air sehingga dapat dibudidayakan dalam medium yang mengandung air
limbah. Lebih dari satu tahun lamanya dilakukan optimasi pertumbuhan
menggunakan air limbah domestik. Budidaya yang di lakukan di ABES mulai dari
skala 10L, 50L di dalam tabung plastik hingga di dalam kolam berkapasitas 3,5 ton.
Berdasarkan jalur biosintesisnya, botriokosen diproduksi bersama dengan
squalene yang berasar dari prekursor yang sama yaitu presqualene pyrophosphate
(PSPP). Botriokosen dan squalene memiliki kemiripan dengan petrodiesel.
Beberapa masalah yang timbul selama budidaya menggunakan Botryococcus diantaranya adalah laju pertumbuhan yang rendah (doubling time mencapai rata-rata 7
hari), periode kultivasi yang relative lama, kemampuan berkompetisi yang rendah
terhadap organisme kontaminan. Laju pertumbuhan dapat dipercepat dengan
menggunakan CO2 dalam sistem aerasi atau dengan menambahkan karbon organik
seperti gula. Namun akan mengakibatkan biaya energi yang meningkat dan
komtaminasi meningkat pula. Oleh Karena itu salah satu solusi nya adalah
menemukan strain Botryococcus yang
superior. Botryococcus braunii ras B
terbukti menjadi ras unggul untuk produksi botriokosen. Ras B pun telah
berhasil disimpan di koleksi kultur NIES dengan menggunakan metoda
cryopreservasi.
2. Auratiochytrium. Alga heterotrof ini dikelompokkan
dalam grup Stramenopiles. Bersama Labyrinthulids lainnya, alga ini menghasilkan
sejumlah besar minyak (PUFA, hidrokarbon dll). Habitat Aurantiochytrium adalah air laut dan air payau terutama di daerah
mangrove. Genus Aurantiochytrium ini
telah terbukti mampu mengakumulasi karotenoid dan beberapa jenis PUFA. Berdasarkan analisis filogeni dan akumulasi
squalene, Aurantiochytium magrovei dikelompokkan
dalam grup yang menghasilkan banyak squalene, sementara A. limacinum dikelompokkan dalam grup penghasil sedikit squalene.
Kondisi kultur yang digunakan untuk menghasilkan squalene tinggi diantaranya
adalah lama kultivasi 72 jam dengan komposisi media 25% air laut, 2% glukosa,
1% tripton dan 0,5% ekstrak yeast. Squalen memiliki berbagai manfaat
diantaranya sebagai sumber bahan kimia, bahan pembuatan kosmetik,
neutraceutical dan kesehatan. Sepanjang tahun 2011 telah dilakukan pengujian
bahan bakar dengan campuran 3%, 50% dan 70% squalene dan petrodiesel
bekerjasama dengan Iseki company,
Agriculture and Forestry Research Center, dan Mazda company. Budidaya Aurantiochytrium telah dilakukan mulai
skala 500 ml hingga 90 L. Masalah yang dihadapi sepanjang budidaya alga ini
adalah ketergantungan terhadap sumber karbon organik karena alga jenis ini
tergolong heterotrofik, sangat mensyaratkan bibit yang aksenik yaitu tidak
mengandung kontaminan, serta biaya energi dan produksi yang masih tinggi. Untuk
menghadapi permasalahan tersebut maka penggunaan air limbah dan produk limbah
lainnya dapat dipertimbangkan, juga dapat pula dilakukan ko-kultivasi dengan
alga fotosintetik, serta penggunaan strain yang superior.
3. Native algae. Penggunaan “alga pribumi”
diyakini akan mempermudah proses budidaya alga. Teknik untuk mendapatkannya
dengan menyediakan kolam air berisi nutrisi bagi alga secara umum, lalu beberapa
saat kemudian akan ditemukan berbagai macam alga campuran yang disebut juga
konsorsium alga atau mix culture atau
polyculture algae. Melalui Teknik ini
tidak perlu melakukan skrining maupun isolasi. Hasil yang didapatkan adalah
laju pertumbuhan yang tinggi, toleran terhadap pathogen dan stress lingkungan
seperti air yang dingin dan hampir membeku di musim dingin (winter). Dengan teknik budidaya
menggunakan native algae ini, biaya
produksi secara signifikan lebih rendah. Budidaya native algae telah dilakukan mulai skala 120 L hingga 200 ton.
Demikian gambaran kegiatan penelitian mengenai produksi biomassa alga di ABES, beberapa tempat yang dapat dijadikan rujukan kultivasi skala besar diantaranya di Murdock University-Australia, Wageningen University-Belanda, dll
Sumber : kuliah Environmental Phycology, Leaflet ABES
Komentar (0)
Bagaimana Reaksi Anda Tentang Blog ini?
Tinggalkan Komentar