Penurunan status Kebun Raya Bogor sebagai institusi riset
setingkat eselon dua menjadi Unit Pelaksana Teknis (UPT) setingkat eselon tiga
yang bersifat pelayanan menjadi issu hangat seiring proses reorganisasi yang
terjadi di LIPI. Berdasarkan Peraturan LIPI No. 1 Tahun 2019, sebuah institusi
baru setingkat eselon 2a dibentuk dengan nama Pusat Penelitian Konservasi
Tumbuhan dan Kebun Raya. Institusi baru tersebut akan membawahi empat kebun
raya yang dikelola LIPI yang masing-masing akan ditetapkan sebagai UPT,
termasuk Kebun Raya Bogor (KRB).
Penurunan status tersebut dikuatirkan berdampak pada
penurunan peran Kebun Raya Bogor sebagai lembaga konservasi dan penelitian yang
domainnya di hulu, menjadi sebuah institusi hilir yang fokus pada pelaksanaan
kegiatan teknis pelayanan masyarakat. Hal ini bila mengacu pada Peraturan
Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara No. PER/18/M.PAN/11/2008. Unit
Pelaksana Teknis dalam peraturan tersebut adalah satuan kerja yang bersifat
mandiri yang melaksanakan tugas teknis operasional tertentu dan/atau tugas
teknis penunjang yang secara langsung berhubungan dengan pelayanan masyarakat.
Konservasi vs Wisata
Peraturan Presiden RI Nomor 93 tahun 2011 tentang Kebun Raya
mengamanatkan bahwa dasar pertimbangan utama dibangunnya kebun raya adalah untuk
mengurangi laju degradasi keanekaragaman tumbuhan. Koleksi-koleksi tumbuhan liar
bernilai ilmiah, ekonomi dan budaya ditanam berdasarkan kekerabatannya atau
dengan pola tematik yang melahirkan suasana hijau, asri, indah dan nyaman.
Koleksi-koleksi tersebut diperuntukkan bagi tujuan konservasi, penelitian,
pendidikan, wisata dan jasa lingkungan. Di kawasan perkotaan, suasana kebun
raya akan menghadirkan suasana yg kontras dengan sekitarnya, seperti Kebun Raya
Bogor (KRB) yg menjadi oase di tengah kepungan bangunan di pusat kota Bogor.
Tidak heran bila KRB banyak dikunjungi turis lokal maupun manca negara. Lebih
dari satu juta pengunjung setiap tahunnya bertandang ke tempat ini. Geliat
ekonomi tumbuh seiring berkembangnya kebun raya sebagai tujuan wisata. Jumlah
kunjungan dari tahun ke tahun terus mengalami peningkatan.
Dilema, pengunjung yang makin melimpah berdampak buruk pada
kehidupan koleksi. Guna memenuhi biaya operasional yang semakin meningkat, seorang
kepala kebun raya akan berupaya meningkatkan pendapatannya. Kebun raya makin dipercantik.
Tidak seorang pun pemimpin mau membatasi jumlah pengunjung agar tingkat
kerusakan menurun, dengan harapan biaya operasional akan menurun. Penurunan
pendapatan dianggap sebagai bentuk kegagalan seorang pemimpin.
KRB dengan pendapatan yang terus meningkat dan kini lebih
dari 20 milyar setiap tahunnya, dianggap masih besar peluangnya untuk
ditingkatkan. Dengan kata lain KRB akan menjadi sumber potensial bagi
peningkatan keuangan negara. Penurunan status KRB menjadi UPT dalam bentuk
Balai makin membuka peluang menjadi Badan Layanan Umum (BLU) sesuai UU Nomor 1
tahun 2004 dan Peraturan Pemerintah Nomor 23 tahun 2005. Sekilas tampak
menjanjikan. Namun menjadi awal bergesernya orientasi KRB dari institusi riset
yang fokus pada upaya penyelamatan flora dari ancaman kepunahan menjadi
organisasi yg fokus pada pelayanan wisata.
Fungsi konservasi dan wisata acap kali berseberangan.
Keberpihakan seorang kepala kebun raya pada kedua kutub tersebut akan tampak
dalam memutuskan sebuah kebijakan teknis di lapangan. Bagi pemimpin yang
condong berorientasi pada wisata, sebatang pohon koleksi tua dan tidak sehat
akan langsung ditebang karena dapat mengancam nyawa pengunjung. Rasa ‘aman’ sebagi
prasyarat sebuah objek wisata terusik. Namun bagi pemimpin yg berorientasi pada
konservasi akan mempertahankan pohon tersebut dan menjadikan sekelilingnya
sebagai zona bebas pengunjung. Seorang pemimpin yang berorientasi pada
konservasi akan cenderung mengurangi jumlah kenderaan yang masuk, sebaliknya
kebijakan tersebut akan dihindari pemimpin yang berorientasi pada wisata,
karena dapat mengurangi pendapatan. Kebijakan yang sama akan diterapkan pada
setiap penyusunan rencana anggaran. Tidak ada pemimpin yang murni berorientasi
pada satu kutub, namun kecenderungan mengarah ke satu kutub selalu ada. Dapat
dibayangkan bila kebun raya menjadi BLU yang pendapatannya secara nyata akan
mempengaruhi kesejahteraan pegawainya. Eksploitasi, komersialisasi atau optimalisasi
berbagai aset kebun raya akan semakin meningkat. Konservasi dianggap sebagai cost center dan oleh karena itu harus
diubah menjadi benefit center.
Institusi yang mampu mandiri, self sustain dan tidak membebani anggaran
institusi induknya. Begitulah kira-kira bila berorientasi pada kutub wisata.
Bisa dibayangkan bila KRB yang merupakan ibu dari semua kebun
raya dan sekaligus yang melahirkan berbagai lembaga ilmiah, mengembangkan dan
menyebarkan berbagai komoditas penting, pembina dan pengawas teknis pembangunan
kebun raya, sebagai barometer perkembangan kebun raya sekaligus menjadi acuan
setiap kebun raya di Indonesia, berubah menjadi sebuah institusi yang hanya
melaksanakan kegiatan teknis pelayanan. Apa yang akan terjadi pada kebun raya
lainnya yang kini sudah berjumlah 39 kebun raya.
Harmonisasi Fungsi
Konservasi dan Wisata
Fungsi wisata memang tidak boleh diabaikan. Dalam visi KRB
tercantum jelas "Menjadi salah satu Kebun Raya terbaik di dunia dalam
bidang konservasi dan penelitian tumbuhan tropika, pendidikan lingkungan dan
pariwisata". Anggapan bahwa kebun
raya hanya sekedar tempat wisata dapat dimengerti. Segmen pengunjung untuk
tujuan wisata jauh lebih besar dibandingkan untuk tujuan konservasi, penelitian
dan pendidikan. Dari sisi penerimaan PNBP tahun 2018, kontribusi sektor wisata
mencapai 80% dari total penerimaan. Sektor konservasi, penelitian dan
pendidikan hanya sebesar 2,6%, sedangkan sisanya (17,4%) dari hasil kerjasama
pengelolaan aset dan jasa lainnya.
Mempertahankan kebun raya sebagai lembaga ilmiah dengan cara
menafikan sektor wisata bukanlah keputusan yang bijak, tetapi menjadikan kebun
raya sebagai institusi teknis yang hanya fokus pada pelayanan, berpotensi
menabrak tujuan dasar pembangunan kebun raya. Agar kegiatan konservasi dan
wisata dapat berlangsung harmonis, maka: a) perlu ada pembatasan pada setiap
kunjungan wisata yang bersifat massal dan dilokalisir pada zona khusus; b) menerapkan
tarif tinggi terhadap tiket kenderaan keliling kebun, dan secara bertahap
mengurangi jumlah hari yang memperbolehkan kenderaan pribadi masuk KRB; c) menyediakan
kenderaan operasional dan wisata keliling kebun yang ramah lingkungan sebagai
alternatif pengganti kenderaan pribadi; d) meningkatkan tarif masuk kebun raya
dalam batas wajar, dan sebaliknya memberikan pelayanan gratis atau potongan
harga tiket masuk pada sekolah-sekolah kurang mampu; e) meningkatkan kinerja
dan pelayanan wisata flora dengan target setiap rombongan pelajar dan wisatawan
mendapat pemanduan dan pengawasan yang memadai. Terakhir, komitmen dalam bidang
konservasi sebagai tujuan dasar dibangunnya kebun raya harus tercermin dalam kebijakan
penganggaran.
Mustaid Siregar
Peneliti Ahli Utama
Bidang Ekologi & Evolusi
Komentar (0)
Bagaimana Reaksi Anda Tentang Blog ini?
Tinggalkan Komentar